Menunggu Fatwa MUI Berikutnya
Menjelang pemilu, ingin sekali sekali menulis tentang politik, menarik juga. Beberapa waktu yang lalu, ramai dibicarakan tentang fatwa MUI tentang Golput di media electronik dan cetak. Saya kira ramai juga dibicarakan di lingkungan kampus dan di masyarakat umum. Pada prinsipnya, saya yang termasuk awam mengenai hukum Islam yang lebih jauh, apalagi yang menyangkut urusan urusan yang menurut saya rumit, yaitu mengenai pemilu. Jadi, nurut nurut saja pada MUI yang mengharamkan Golput, toh kalau seandainya salah, yang lebih bertanggung jawab adalah MUI, yang menganjurkan untuk tidak Golput.
Tapi, fatwa MUI mestinya proporsional. Fatwa MUI tentang Golput lebih di tujukan pada rakyat, lebih imbang kalau MUI juga membuat fatwa yang ditujukan kepada wakil rakyat dan pejabat negara. Kalau saya boleh usul kepada MUI untuk membuat fatwa halal dan haram tindakan yang dilakukan DPR dan penjabat negara. MUI memiliki pengaruh besar bagi rakyat, terutama yang beragama Islam. Saya kira masih banyak rakyat Indonesia yang mau mengikuti fatwa MUI.
Jadi menurut saya MUI perlu juga membuat fatwa yang ditujukan untuk DPR dan pejabat mengenai apa saja yang tidak baik. Saya kira banyak, misalnya mbolos saat sidang, makan gaji buta, tidak menyerap aspirasi rakyat, korupsi, pungli, dsb. Fatwa MUI masih didengar dan diperhatikan bagi siapa saja yang beragama Islam, daripada kata-kata orang awam seperti saya ini. Lembaga MUI memiliki kekuatan pengaruh di kalangan bawah dan atas. Meskipun ada sesuatu yang diharamkan dalam hukum Islam tapi tidak melanggar hukum negara, misalnya makan kodok goreng, setidaknya MUI sebagai sesama Islam mestinya mengingatkan kembali tentang haramnya sesuatu. Apalagi yang menyangkut persoalan rakyat banyak, misalnya dalam kehidupan bernegara di negeri kita ini. Tidak salah kan mengingatkan kembali, misalnya apakah halal atau haram menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau golongan. Haramkah DPR yang mengkianati rakyat dengan tidak menepati janjinya ketika terpilih.
Sampai detik ini, lebih dari 20 tahun tidak ada satupun calon wakil rakyat atau wakil rakyat yang mendatangi rumah saya untuk menyerap aspirasi (apa saya yang harus mendatangi calon wakil rakyat satu persatu ya?). Terus bagaimana saya tahu wakil saya di lembaga DPR? Saya bukan paranormal, atau hanya menggunakan intuisi atau feeling dalam memilih wakil saya di DPR. Bagaimana saya melihat baik dan tidaknya kalau tidak pernah tahu programnya dan janji-janjinya jika terpilih?
Saya berharap MUI hendaknya membuat fatwa yang berimbang, bukan ditujukan hanya untuk rakyat atau pemilih, dengan mengatakan Golput itu haram. Coba membuat statement fatwa yang keras dengan kata-kata haram terhadap sesuatu hal yang jelas-jelas haram terhadap wakil rakyat, calon wakil rakyat, pejabat negara atau calon pejabat negara dan aparat pemerintah dengan tujuan saling mengingatkan tentang dosa, walau kita semua sudah tahu bahwa sesuatu hal itu tidak baik. Dengan fatwa MUI, barangkali mereka akan takut dosa dan akan bekerja semaksimal mungkin sehingga kesejahteraan rakyat bisa terwujud.
Tapi, fatwa MUI mestinya proporsional. Fatwa MUI tentang Golput lebih di tujukan pada rakyat, lebih imbang kalau MUI juga membuat fatwa yang ditujukan kepada wakil rakyat dan pejabat negara. Kalau saya boleh usul kepada MUI untuk membuat fatwa halal dan haram tindakan yang dilakukan DPR dan penjabat negara. MUI memiliki pengaruh besar bagi rakyat, terutama yang beragama Islam. Saya kira masih banyak rakyat Indonesia yang mau mengikuti fatwa MUI.
Jadi menurut saya MUI perlu juga membuat fatwa yang ditujukan untuk DPR dan pejabat mengenai apa saja yang tidak baik. Saya kira banyak, misalnya mbolos saat sidang, makan gaji buta, tidak menyerap aspirasi rakyat, korupsi, pungli, dsb. Fatwa MUI masih didengar dan diperhatikan bagi siapa saja yang beragama Islam, daripada kata-kata orang awam seperti saya ini. Lembaga MUI memiliki kekuatan pengaruh di kalangan bawah dan atas. Meskipun ada sesuatu yang diharamkan dalam hukum Islam tapi tidak melanggar hukum negara, misalnya makan kodok goreng, setidaknya MUI sebagai sesama Islam mestinya mengingatkan kembali tentang haramnya sesuatu. Apalagi yang menyangkut persoalan rakyat banyak, misalnya dalam kehidupan bernegara di negeri kita ini. Tidak salah kan mengingatkan kembali, misalnya apakah halal atau haram menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau golongan. Haramkah DPR yang mengkianati rakyat dengan tidak menepati janjinya ketika terpilih.
Sampai detik ini, lebih dari 20 tahun tidak ada satupun calon wakil rakyat atau wakil rakyat yang mendatangi rumah saya untuk menyerap aspirasi (apa saya yang harus mendatangi calon wakil rakyat satu persatu ya?). Terus bagaimana saya tahu wakil saya di lembaga DPR? Saya bukan paranormal, atau hanya menggunakan intuisi atau feeling dalam memilih wakil saya di DPR. Bagaimana saya melihat baik dan tidaknya kalau tidak pernah tahu programnya dan janji-janjinya jika terpilih?
Saya berharap MUI hendaknya membuat fatwa yang berimbang, bukan ditujukan hanya untuk rakyat atau pemilih, dengan mengatakan Golput itu haram. Coba membuat statement fatwa yang keras dengan kata-kata haram terhadap sesuatu hal yang jelas-jelas haram terhadap wakil rakyat, calon wakil rakyat, pejabat negara atau calon pejabat negara dan aparat pemerintah dengan tujuan saling mengingatkan tentang dosa, walau kita semua sudah tahu bahwa sesuatu hal itu tidak baik. Dengan fatwa MUI, barangkali mereka akan takut dosa dan akan bekerja semaksimal mungkin sehingga kesejahteraan rakyat bisa terwujud.
Labels: apakah golput haram?, fatwa MUI, fatwa mui tentang golput, menunggu fatwa MUI